Rabu, 03 Desember 2008

MEWUJUDKAN SEKOLAH MANDIRI

PENDAHULUAN

A. Later Belakang

Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air , hal ini terjadii karena sistem birokrasi selalu menempatkan "kekuasaan" sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan.

Indikator dari keterpurukan pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari Humman Development Index (HDI) , dari data UNESCO yang disurvey 174 negara di Dunia, Indonesia menempati urutan di atas 100 berdasarkan kualiatas pendidikannya

Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi yang "menggurita" sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era desentralisasi ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang "dikendalikan". Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang "pasti" tidak sesuai dengan kenyataan obyektif di masing-masing sekolah. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Kekuasaan birokrasi persekolahan telah membuat sistem pendidikan kita tak pernah terhenti dari keterpurukan.

Kekuasaan birokrasi jugalah yang menjadi faktor sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiiiki oleh masyarakat, dan rnerekalah yang membangun dan memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada sekolah mereka itu. Pada waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat yang senantiasa bertanggungjawab dalam pemeliharan serta operasional pendidikan sehari-hari Pada waktu itu, Pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang mampu. Namun, keluarnya Inpres SDN No. 10/1973 adalah titik awal dari keterpurukan sistem pendidikan, terutama sistem persekolahan di tanah air. Pemerintah telah mengambil alih "kepemilikan" sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik. Sejak itu, secara perlahan "rasa memiliki" dari masyarakat terhadap sekolah menjadi pudar bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya "bertanggungjawab", mulai berubah menjadi hanya "berpartisipasi" terhadap pendidikan, selanjutnya, masyarakat bahkan menjadi "asing" terhadap sekolah. Semua sumberdaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah dan seolah tidak ada alasan bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi apalagi bertanggungjawab terhadap penyelengaraan pendidikan di sekolah.

Permasalahan selanjutnya adalah di era seperti sekarang ini, dimana kondisi keuangan negara sudah tidak bisa lagi menjadi tumpuan untuk dapat memberikan subsidi yang memadai untuk keberlangsungan proses kegiatan di sekolah, maka sekolah dituntut untuk melakukan suatu upaya memberdayakan semua elemen sekolah beserta stakeholder guna mewujudkan sekolah yang mandiri

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan : “ Dengan upaya apakah untuk dapat mewujudkan sekolah yang mandiri ?”

C. Tujuan Penulisan

Dari latar belakang tersebut di atas, maka penyusunan makalah ini secara umum bertujuan untuk memaparkan sedikit hal tentang bagaimana mewujudkan sekolah yang mandiri, adapun secara khusus dari penulisan makalah ini adalah :

  1. memaparkan hal-hal tentang mengapa sekolah perlu mandiri
  2. memberikan asumsi tentang upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk mewujudkan sekolah yang mandiri

D. Ruang Lingkup Pembahasan

Ruang lingkup penyusunan makalah ini adalah meliputi :

BAB I, Pendahuluan yang meliputi Latar belakang, tujuan dan ruang lingkup penulisan makalah.

BAB II, Pembahasan yang memuat tentang hal-hal yang terkait dengan upaya menuju sekolah mandiri yang meliputi : Hakekat Sekolah Yang Mandiri,. Pengelolaan Pendidikan Pada Tingkat Sekolah, Kepemimpinan Kepala Sekolah, . dan Pemberdayaan Komite Sekolah.

BAB III, Penutup yang memuat tentang kesimpulan dan saran dari hasil pemaparan tentang upaya mewujudkan sekolah yang mandiri

MENUJU SEKOLAH MANDIRI

A. Manajemen Berbasis Sekolah

Pergeseran paradigma pengelolaan pendidikan dasar dan menengah telah tercermin daiam visi pembangunan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN (1999): * mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas guna mewujudkan bangsa yung benahlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cendas, sehat, disiplin, bertanggungjawab, terampil, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi Amanat GBHN ini menyiratkan suatu kekhawatiran yang mendalam dari berbagai komponen bangsa terhadap prestasi sistem pendidikan nasional yang kini tampak mulai menurun dalam mepersiapkan SDM yang tangguh dan mampu bersaing di era tanpa batas ke depan.

Manajemen Berbasis Sekolah ( School-Based Management ) : merupakan sistem yang memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada institusi sekolah untuk mengatur kehidupan sekolah sesuai dengan potensi, tuntutan dan kebutuhan sekolah (Satori, 2001:4)

Manajemen berbasis sekolah (MBS) memang bisa disebut suatu pergeseran paradigma dalam . pengelolaan pendidikan, namun, tidak berarti paradigma ini "baru" sama sekali, karena pernah kita miliki sebelum Inpres No. 10/1973. Sekolah-sekolah dikelola secara mikro dengan sepenuhnya diperankan oleh kepala sekolah dan guru-guru sebagai pengelola dan pelaksana pendidikan pada setiap sekolah yang juga tidak terpisahkan dari lingkungan masyarakatnya. MBS bermaksud "mengembalikan" sekolah kepada pemiliknya yaitu masyarakat, yang diharapkan akan merasa bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah;

Dengan demikian merekalah yang seharusnya menjadi pelaku utama dalam membangun pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakatnya. Hanya kepala sekolah yang paling mengetahui apakah guru bekerja baik, apakah buku-buku kurang, apakah perpustakaan digunakan, apakah sarana pendidikan masih layak pakai, dan sebagainya. Kepala sekolah dapat "berunding" dengan disyarakat untuk memecahkan berbagai persoalan pendidikan bersama-sama termasuk mengatasi kekurangan sarana-prasarana pendidikan.

Di sisi lain, hanya guru-gurulah yang paling memahami, mengapa prestasi belajar murid-muridnya menurun, mengapa sebagian murid bolos atau putus sekolah, metoda mengajar apakah yang efektif, apakah kurikulumnya dapat dilaksanakan, dan sebagainya. Guru-guru bersama kepala sekolah dapat bekerjaoama untuk memecahkan masalah-masalah yang menyangkut proses pembelajaran tersebut. Untuk itu kepala sekolah dan guru-guru harus dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian serta analisis agar semakin peka terhadap dan memahami dengan cepat cara-cara pemecahan masalah pendidikan di sekolahnya masing-masing.

Dengan MBS, pemecahan masalah internal sekolah, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun sumberdaya pendukungnya cukup dibicarakan di dalam sekolah dengan masyarakatnya, sehingga tidak perlu diangkat ke tingkat pemerintah daerah apalagi ke tingkat pusat yang "jauh panggang dari api" itu. Tugas pemerintah (pusat dan daerah) adalah memberikan fasilitasi dan bantuan pada saat sekolah dan masyarakat menemui jalan buntu dalam suatu pemecahan masalah. Fasilitasi ini mungkin berbentuk capacity building, bantuan teknis pembelajaran atau manajemen sekolah, subsidi bantuan sumberdaye pendidikan, serta kurikulum nasional dan pengendalian mutu pendidikan baik tingkatan daerah maupun nasional. Agar dapat memberikan fasilitasi secara obyektif, pemerintah perlu didukung oleh sistem pendataan dan pemetaan mutu pendidikan yang handal dan terbakukan secara nasional.

B. Hakekat Sekolah Mandiri

Paradigma MBS beranggapan bahwa, satu-satunya jalan masuk yang terdekat mrnuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah, guru, dan masyarakat adalah pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi dari ketiga pihak tersebut. Masyarakat adalah stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan keberhasilan pendidikan di sekolah, karena mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak, sehingga sekolah-sekolah seharusnya bertanggungjawab terhadap masyarakat.

Namun demikian, entitas yang disebut "masyarakat" itu sangat kompleks dan tak berbatas (borderless) sehingga sangat sulit bagi sekolah untuk berinteraksi dengan masyarakat sebagai Stakeholder pendidikan. Untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, konsep masyarakat itu perlu disederhanakan (simplified) agar menjadi mudah bagi sekolah melakukan hubungan dengan masyarakat itu.

Penyederhanaan konsep masyarakat itu dilakukan melalui "perwakilan" fungsi stakeholder, dengan jalan membentuk Komite Sekolah (KS) pada setiap sekolah dan Dewan Pendidikan (DP) di setiap kabupaten/kota. DP-KS sedapat mungkin bisa merepresentasikan keragaman yang ada agar benar-benar dapat mewakili masyarakat. Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan masyarakat dapat diwujudkan melalui mekanisme pengambilan keputusan antar sekolah dengan Komite Sekolah, dan interaksi antara para pejabat pendidikan dii pemerintah kabupaten/kota dengan Dewan Pendidikan. Bukti tanggungjawab masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan dalam fungsi yang melekat pada DP dan KS, yaitu fungsi pemberi pertimbangan dalam pengambilan keputusan, fungsi kontrol dan akuntabilitas publik, fungsi pendukungan (supports), serta fungsi mediator antara sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya. Kemandirian setiap satuan pendidikan adalah salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan sehingga sekolah menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya. Namun tentu saja, pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan tonggak dan duri. Orang bisa. saja rnengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparan.

Dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui strategii "desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan", Depdiknas tidak hanya berkepentingan dalam mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan, tetapi juga berkepentingan dalam mewujudkan otonomi satuan- pendidikan, Depdiknas memiliki keleluasaan untuk membangun kapasitas setiap penyelenggara pendidikan, yaitu sekolah-sekolah. MBS mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara otonom karena mereka adalah pihak yang paling mengetahui operasional pendidikan. Sesuai dengan stratogi ini sekolah bukan bawahan dari birokrasi pemerintah daerah, tetapi sebagai lembaga profesional yang bertanggung jawab terhadap klien atau stakeholder yang diwakili oleh Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan.

Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak diukur dari pendapat para birokrat, tetapi dari kepuasan masyarakat atau stakeholder. Fungsi pemerintah adalah fasilitator untuk mendorong sekolah-sekolah agar berkembang menjadi lembaga profesional dan otonom sehingga mutu pelayanan mereka memberi kepuasan terhadap komunitas basisnya, yaitu masyarakat.

Perlu juga difahami bahwa pengembangan paradigma MBS, bukanlah kelanjutan apalagi "kemasan baru" dari Badan Pembantu Pelaksanaan Pendidikan (BP3). Adalah keliru jika Komite Sekolah adalah alat untuk "penarikan iuran", karena "penarikan iuran" yang dilakukan oleh BP3 terbukti tidak berhasil memobilisasi partisipasi dan tanggungjawab masyarakat. Tetapi yang harus lebih difahami adalah fungsi Komite Sekolah sebagai jembatan antara sekolah dan masyarakat. Sekolah yang hanya terbatas personalianya, akan sangat dibantu jika dibuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk ikut memikirkan pendidikan di sekolah. Sekolah yang sangat tertutup bagi kontribusi pemikiran dari masyarakat harus kita akhiri, dan dengan MBS, dibuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut serta memikirkan pendidikan di sekolah.

Dengan konsep MBS, masyarakat akan merasa memiliki dan mereka akan merasa bertanggungjawab untuk keberhasilan pendidikan di dalamnya. Jika ini dapat diwujudkan, jangankan "iuran" bahkan apapun yang mereka miliki (uang, barang, tenaga, fikiran bahkan kesempatan), akan mereka abdikan untuk kepentingan pendidikan anak-anak bangsa yang berlangsung di sekolah. Namun untuk sampai pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan, diperlukan program yang sistematis dengan melakukan "capacity building. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan setiap satuan pendidikan secara berkelanjutan baik untuk melaksanakan peran-peran manajemen pendidikan maupun peran-peran pembelajaran, sesuai dengan butir-butir yang disebut di atas. Namun, kegiatan 'capacity building* tersebut perlu dilakukan secara sistematis melalui pentahapan, sehingga menjadi proses yang dilakukan secara berkesinambungan sehingga arahnya menjadi jelas (straight foreward) dan terukur (measurable).

C. Pengelolaan Pendidikan pada tingkat Sekolah

Peran dan fungsi Komite Sekolah tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan manajemen pendidikan di tingkat sekolah. Beberapa aspek manajemen yang secara langsung dapat diserahkan sebagai urusan yang menjadi kevvenangan tingkat sekolah adalah sebagai berikut.

Pertama, menetapkan visi, misi, strategi, tujuah, logo, lagu, dan tata tertib sekolah. Urusan ini amat penting sebagai modal dasar yang harus dimiliki sekolah. Setiap sekolah seyogyanya telah dapat menyusun dan menetapkan sendiri visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah. Ini merupakan bukti kemandirian awal yang harus ditunjukkan oleh sekolah. Jika masa lalu sekolah lebih dipandang sebagai lembaga birokrasi yang selalu menunggu perintah dan petunjuk dari atas, dalam era otonomi daerah ini sekolah harus telah memiiiki kesadaran untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Sudah barang tentu, sekolah harus menjalin kerjasama sebaik mungkin dengan orangtua dan masyarakat sebagai mitra kerjanya. Bahkan dalam menyusun program kerjanya, sebagai penjabaran lebih lanjut dari visi, misi, strategi, dan tujuan sekolah tersebut, orangtua dan masyarakat yang tergabung dalam Komite Sekolah, serta seluruh warga sekolah harus dilibatkan secara aktif dalam menyusun program kerja sekolah, dan sekaligus lengkap dengan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS)

Kedua, memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tesedia, fasilitas yang ada, jumlah guru, dan tenaga administrasi yang dimiliki. Berdasarkan sumber daya pendukung yang dimilikinya, sekolah secara bertanggung jawab harus dapat menentukan sendiri jumlah siswa yang akan diterima, syarat siswa yang akan diterima, dan persyaratan lain yang terkait. Sudah barang tentu, beberapa ketentuan yang ditetapkan oleh dinas pendidikan kabupaten / kota perlu mendapatkan pertimbangan secara bijak.

Ketiga, menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang akan diadakan dan dilaksanakan oleh sekolah. Dalam hal ini, dengan mempertimbangkan kepentingan daerah dan masa depan lulusannya, sekolah perlu diberikan kewenangan untuk melaksanakan kurikulum nasional dengan kemungkinan menambah atau mengurangi muatan kurikulum dengan meminta pertimbangan kepada Komite Sekolah. Kurikulum muatan lokal, misalnya dalam mengambil kebijakan untuk menambah mata pelajaran seperti Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya, komputer, dsb. Sudah barang tentu, kebijakan itu diambil setelah meminta pertimbangan dari Komite Sekolah, termasuk resiko anggaran yang diperlukan untuk itu. Dalam kaitannya dengan penetapan kegiatan ekstrakurikuler, sekolah juga harus meminta pendapat siswa dalam menentukan kegiatan ekstrakurikuler yang akan diadakan oleh sekolah. Oleh karena itu sekolah dapat melakukan pengelolaan biaya operasional sekolah, baik yang bersumber dari pemerintah Kabupaten/Kota maupun dari masyarakat secara mandiri. Untuk mendukung program sekolah yang telah disepakati oleh Komite Sekolah diperlukan ketepatan waktu dalam pencairan dana dari pemerintah kabupaten/kota. Oleh kaarena itu praktik birokrasi yang menghambat kegiatan sekolah harus dikurangi.

Keempat, pengadaan sarana dan prasana pendidikan, termasuk buku pelajaran dapat diberikan kepada sekolah, dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang ada. Misalnya, buku murid tidak seenaknya diganti setiap tahun oleh sekolah, atau buku murid yang akan dibeli oleh sekolah adalah yang telah lulus penilaian, dan sebagainya. Pemilihan dan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah dapat dilaksanakan oleh sekolah, dengan tetap mengacu kepada standar dan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau provinsi dan kabupaten/kota.

Kelima, penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupaten. Yang biasa terjadi justru, karena kewenangan penghapusan itu tidak jelas, barang dan jasa yang ada di sekolah justru tidak pernah dihapuskan, meskipun ternyata barang dan jasa itu sama sekali telah tidak berfungsi atau malah telah tidak ada barangnya.

Keenam, proses pengajaran dan pembelajaran. Ini merupakan kewenangan profesional sejati yang dimiliki oleh lembaga pendidikan sekolah. Kepala Sekolah dan guru secara bersama-sama merancang proses pengajaran dan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan lancar dan berhasil. Proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan direkomendasikan sebagai model pembelajaran yang akan dilaksanakan oleh sekolah.

Ketujuh, urusan teknis edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi tanggung jawab dan kewenagan setiap satuan pendidikan.

D. Kepemimpinan Kepala Sekolah

Untuk mewujudkan sekolah yang mandiri, kepemimpinan kepala sekolah perlu diberdayakan. Pemberdayaan berarti peningkatan kemampuan secara fungsional , sehingga kepala sekolah mampu berperan sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Kepala sekolah harus bertindak sebagai manajer dan pemimpin yang efektif. Sebagai manajer ia harus mampu mengatur agar semua potensi sekolah dapat berfungsi secara optimal. Hal ini dapat dilakukan jika kepala sekolah mampu melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik, meliputi : perencanaan, pengorganisasian, pengarahan , dan pengawasan

Dari segi kepemimpinan , seorang kepala sekolah mungkin perlu mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional, agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal. Kepemimpinan transformasional dapat didfinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values system) yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa , pegawai, orangtua siswa, masyarakat dan sebagainya) bersedia, tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah (Bambang BW, 2000 : 7)

Untuk mewujudkan sekolah yang mandiri, kepala sekolah sebagai pemegang kendali tidak layak lagi untuk takut mengambil inisiatif dalam memimpin sekolahnya, pengalaman kepala sekolah yang bersifat top down seharusnya segera ditinggalkan. Gaya kepemimpinan kepala sekolah yang bersifat instruktif dan top down memang telah lama dipraktikkan di sebagian besar sekolah ketika era sentralistik masih berlangsung.

Beberapa fenomena persekolahan sebagai hasil dari model kepemimpinan yang isntruktif dan top down dapat disebutkan antara lain , sistem target pencapaian kurikulum , formula kelulusan siswa, dan adanya desain suatu proyek peningkatan kualitas sekolah yang harus dikaitkan dengan peningkatan hasil Ujian Nasional (UN) secara instruktif. Keadaan tersebut berakibat pada terbelenggunya seorang kepala sekolah dengan juklak dan juknis. Dampak negatifnya ialah tertutupnya sekolah pada proses pembaharuan dan inovasi.

Keadaan tersebut pernah penulis alami ketika harus melakukan desiminasi Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) di sekolah-sekolah sebagai tindak lanjut hasil kegiatan pendidikan dan pelatihan Penulisan Karya Tulis Ilmiah yang penulis ikuti di P4TK Bandung. Kepala sekolah yang mengadopsi kepemimpinan instruksi-otoritarian tidak selalu bisa memberi peluang kepada penulis untuk mengajak para guru melakukan Penelitian Tindakan Kelas di kelasnya, dengan alasan kegiatan penelitian kelas itu akan mengganggu pencapaian target kurikulum yang telah dicanangkan oleh pusat.

Di sisi guru, sebenarnya sangat mendambakan untuk selalu meningkatkan profesionalisme secara berkelanjutan melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK) . Sebab mereka sebenarnya mengerti, dengan melakukan penelitian itu para guru akan mampu melakukan refleksi terhadap praktik pembelajaran yang selama ini dilakukannya . Para guru telah dilatih berhari-hari cara melakukan PTK , tetapi, gara-gara ada kepala sekolah yang tidak reseptif terhadap inovasi , akhirnya guru harus puas dengan praktik yang bertahun-tahun dilakukan dan dianggap telah baik tanpa ada sistem feedback yang diperoleh dari penelitian tindakan kelas.

Kepala sekolah yang memiliki kepemimpinan partisipatif-transformasionall memiliki kecenderungan untuk menghargai ide-ide baru, cara baru, praktik-praktik baru dalam proses belajar mengajar di sekolahnya, dan dengan demikian sangat senang jika guru melakukan PTK. Sebab, dengan PTK itu sebenarnya guru akan mampu menutup gap antara wacana konseptual dan realitas dunia praktik dalam proses belajar mengajar di kelasnya. Jika hal itu terjadi, berarti guru akan mampu memecahkan sendiri persoalan yang muncul dari praktik prefesionalnya, dan oleh karena itu mereka dapat selalu meningkatkan secara berkelanjutan .

E. Pemberdayaan Komite Sekolah

Perwujudan sekolah yang mandiri merupakan satu bentuk desentraliasasi yang langsung sampai ke ujung tombak pendidikan di lapangan. Jika dinas pendidikan kabupaten/kota lebih memiliki peran sebagai failitator dalam proses pembinaan, pengarahan, pemantauan dan penilaian, maka sekolah seharusnya diberikan peran nyata dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. Hal ini disebabkan karena proses interaksi edukatif di sekolah merupakan inti dari proses pendidikan yang sebenarnya. Oleh karena itu, bentuk kemandirian pendidikan yang paling mendasar adalah yang dilaksanakan oleh sekolah, dengan menggunakan Komite Sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat, dan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara nyata di dalam masyarakat. Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat perlu dibentuk Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota, dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan.

Amanat rakyat dalam undang-undang tersebut telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam Kepmendiknas tersebut disebutkan bahwa peran yang harus diemban Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah (1) sebagai advisory agency (pemberi pertimbangan), (2) supporting agency (pendukung hegiatan fayanan pendidikan), (3) controlling agency (pengontrol kegiatan layanan pendidikan), dan (4) mediator atau penghubung atau penga tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah

Untuk dapat memberdayakan dan meningkatkan peran masyarakat, sekolah harus dapat kerjasama dengan orangtua dan masyarakat, menciptakan suasana kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik dan warga sekolah. Itulah sebabnya maka paradigma MBS mengandung makna sebagai manajemen partisipatif yang melibatkan peran serta masyarakat, sehingga semua kebijakan dan keputusan yang diambil adalah kebijakan dan keputusan bersama, untuk mencapai keberhasilan bersama. Dengan demikian, prinsip kemandirian dalam sekolah adalah kemandirian dalam nuansa kebersamaan, dan hal ini merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip yang disebut sebagai total quality management, melalui suatu mekanisme yang dikenal dengan konsepsi total football dengan menekankan pada mobilisasi kekuatan secara sinergis yang mengarah pada satu tujuan, yaitu peningkatan mutu dan kesesuaian pendidikan dengan pengembangan masyarakat.

Pertama, Penyusunan Rencana dan Program; sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan, sekolah bertanggungjawab dalam menentukan kebijakan sekolah dalam melaksanakan kebijakan pendidikan sesuai dengan arah kebijakan pendidikan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Sebagai penyelenggaru dan pelaksana kebijakan pendidikan nasional sekolah-sekolah bertugas untuk menjabarkan kebijakan pendidikan nasional menjadi program-program operasional penyelenggaraan pendidikan di masing-masing sekolah. Program-program tersebut terdiri dari penyusunan dan pelaksanaan rencana Kegiatan mingguan, bulanan, semesteran serta tahunan yang sesuai dengan arah kebijakan serta kurikulum yang telah ditetapkan baik pada tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten/kota. Setiap rencana dan program yang disusun serta dilaksanakan di sekolah harus mengacu pada standar pelayanan minimum (SPM) yang diterapkan untuk pemerintahan kabupaten/kota serta standar teknis yang diterapkan untuk masing-masing satuan pendidikan. Untuk dapat memerankan fungsi ini, Komite Sekolah menjadi "pendamping" bahkan "penyeimbang" bagi sekolah-sekolah, sehingga setiap rencana dan program yang disusun oleh sekolah dapat diberikan masukan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat yang diwakili oleh Komite sekojan dimaksud. Atas nama masyarakat yang diwakilinya, Komite Sekolah dapat menyatakan "setuju" atau "tidak setuju" terhadap rencana dan program pendidikan yang disusun oleh sekolah,

Selain melaksanakan kurikulum yang telah ditetapkan dari pusat, sekolah dapat juga menyusun program pendidikan life skills yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pada masyarakat sekitar. Dalam penyusunan program pendidikan "life skills", Komite Sekolah dapat membantu sekolah untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai kebutuhan serta, potensi sumberdaya yang tersedia di dalam masyarakat untuk diterjemahkan ke dalam program pendidikan "life skills" yang dapat dilaksanakan oleh sekolah. Mekanisme yang mungkin dapat dilakukan adalah melalui rapat Komite Sekolah dengan sekolah yang dilaksanakan setiap semester atau tahunan, untuk menyusun, memperbaiki serta menyesuaikan rencana dan program untuk semester berikutnya.

Kedua, Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS); dalam fungsinya sebagai pelaksana pendidikan yang otonom, sekolah berperan dalam menyusun RAPBS setiap akhir tahun pelajaran untuk digunakan dalam tahun pelajaran berikutnya. Program-program yang sudah dirumuskan untuk satu semester atau satu tahun ajaran kedepan perlu dituangkan ke dalarn kegiatan-kegiatan serta anggarannya masing-masing sesuai dengn pos-pos pengeluaran pendidikan di tingkat sekolah. Dari sisi pendapatan, seluruh jenis dan sumber pendapatan yang diperoleh sekolah setiap tahun harus dituangkan dalam RAPBS, baik yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten, maupun sumber-sumber lain yang diperoleh secara langsung oleh sekolah. Dengan demikian, setiap rupiah yang diperoleh sekolah dari sumber-sumber tersebut harus sepenuhnya diperhitungkan sebagai pendapatan resmi sekolah dan diketahui bersama baik oleh pihak sekolah (kepala sekolah, guru-guru, pegawai, serta para siswa) maupun oleh Komite SeKolah sebagai wakil stakeholder pendidikan.

Dari sisi belanja sekolah, seluruh jenis pengeluaran untuk kegiatan pendidikan di sekolah harus diketahui bersama baik oleh pihak sekolah maupun oleh pihak Komite Sekolah, sesuai dengan rencana dan program yang telah disusun bersama oleh kedua pihak tersebut. Kedua sisi anggaran tersebut dituangkan ke dalam suatu neraca tahunan sekolah yang disebut dengan RAPBS yang harus disahkan atas dasar persetujuan bersama antara pihak sekolah dan komite sekolah yang ditandatangani oleh kepala sekolah dan ketua komite sekolah, sehingga menjadi APBS pendidikan di tingkat sekolah yang resmi, mekanisme ini diperlukan untuk memperkecil penyalahgunaan baik dalam pendapatan maupun dalam pengeluaran sekolah, sehingga anggaran resmi pendidikan di sekolah menjadi bertambah serta pendayagunannya semakin efisien.

Ketiga, pelaksanaan program pendidikan; sistem pendidikan pada masa orde baru, pelaksanaan pendidikan secara langsung dikendalikan oleh sistem birokrasi dengan mata rantai yang panjang sejak tingkat pusat, daerah bahkan sampai tingkat satuan pendidikan. Pada waktu itu sekolah-sekolah adalah bagian dari sistem birokrasi yang harus tunduk terhadap ketentuan birokrasi. Pengaturan penyelenggaraan pendidikan pada masa birokrasi dilakukan secara baku dengan pangaturan dari pusat, sejak perencanaan pendidikan, peiaksanaan pendidikan di sekolah termasuk persiapan mengajar, metodologi dan pendekatan mengajar, buku dan sarana pendidikan, sampai kepada penilaian pendidikan. Dengan kata lain, kepada sekolah tidak diberikan kesempatan untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri dalam pelaksanaan pendidikan. Kepala sekolah tidak diberikan kesempatan untuk mengambil keputusan mereka sendiri dalam mengelola sistem pendidikan untuk memecahkan berbagai permasalahan pendidikan yang sesuaii dengan kondisi sekolahnya masing-masing. Kepada guru-guru juga tidak diberikan kesempatan untuk berinisiatif atau berinovasi dalam melaksanakan pengajaran atau mengelola kegiatan belajar mengajar secara maksimal karena metoda mengajar dan teknik evaluasi juga diatur secara langsung melalui juklak dan juknis yang dibuat dari pusat.

Untuk mewujudkan kemandirian sekolah ke depan, melalui paradigma MBS sekolah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengurus dan mengatur pelaksanaan pendidikan pada masing-masing sekolah. Pelaksanaan pendidikan di sekolah dalam tempat yang berlainan dimungkinkan untuk menggunakan sistem dan pendekatan pembelajaran yang berlainan. Kepala sekolah diberikan keleluasaan untuk mengelola pendidikan dengan jalan mengadakan serta memanfaatkan sumber-sumberdaya pendidikan sendiri asal sesuai dengan kebijakan dan standar yang ditetapkan oleh pusat. Oleh karena karakteristik setiap siswa juga berbeda-beda secara individual, maka pendekatan pembelajaran juga dimungkinkan berbeda untuk masing-masing siswa yang berlainan.

Dalam keadaan seperti itu, maka Komite Sekolah akan dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai penunjang dalam pelaksanaan proses pembelajaran yang sejalan dengan kondisi dan permasalahan lingkungan masing-masing sekolah. Komite sekolah dapat melaksanakan fungsinya sebagai partner dari kepala sekolah dalam mengadakan sumber-sumberdaya pendidikan dalam rengka melaksanakan pengelolaan pendidikan yang dapat memberikan fasilitasi bagi guru-guru dan murid untuk belajar sebanyak munghkin, sehingga pembelajaran menjadi semakin efektif. Komite Sekolah bisa ikut serta untuk meneliti dan berbagai permasalahan belajar yang dihadapi oleh murid secara kelompok maupun secara individual sehingga dapat membantu guru-guru untuk menerapkan pendekatan belajar yang tepat bagi siswa-siswinya.

Keempat, akuntabilitas pendidikan, dalam masa orde baru, satu-satunya pihak yang berwenang untuk meminta pertanggungjawaban pendidikan ke sekolah adalah pemerintah pusat. Pada waktu itu, pemerintah pusat telah menempatkan "kaki tangan"nya di seluruh pelosok tanah air melalui pengawas atau para penilik sekolah untuk mengawasi dan meminta pertanggungjawaban sekolah mengenai proses pendidikan yang berkangsung di sekolah. Jika terdapat "penyimpangan administratif yang dilakukan oleh kepala sekolah atau guru-guru, maka kepada mereka diberikan sanksi administratif, seperti teguran resmi, penilaian melalui DPK, penundaan kenaikan gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat dan sejenisnya. Namun, penilalaian tersebut lebih banyak diberikan terhadap proses administrasi pendidikan dan hampir tidak pernah ada sangsii (punishment} atau "ganjaran" (rewards) kepada guru-guru atau kepala sekolah atas dasar hasil yang dicapai dalam pembelajaran siswa atau lulusan.

P E N U T U P

A. Kesimpulan

Untuk mewujudkan sekolah yang mandiri, dapat dilakukan upaya-upaya:

1. melalui paradigma MBS sekolah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengurus dan mengatur pelaksanaan pendidikan pada masing-masing sekolah

2. Kepala sekolah diberikan keleluasaan untuk mengelola pendidikan dengan jalan mengadakan serta memanfaatkan sumber-sumber daya sekolah sendiri asal sesuai dengan kebijakan dan standar yang ditetapkan oleh pusat.

3. Komite sekolah sebagai mitra sekolah dapat mengoptimalkan peran dan fungsinya dalam ikut serta mewujudkan sekolah yang mandiri

B. Saran

Dalam upaya mewujudkan sekolah yang mandiri , perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Adanya komitmen semua elemen yang ada sekolah

2. Kepala sekolah yang menerapkan gaya kepemimpinan partisipatif- partisipatif-transformasional

3. Beberapa ketentuan yang ditetapkan oleh Dinas Pendidikan kabupaten / kota perlu mendapatkan pertimbangan secara bijak


DAFTAR PUSTAKA

Bambang Budi Wiyono. 2002. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan

Semangat Kerja Guru dalam Melaksanakan Tugas Jabatan di Sekolah.

(abstrak) Ilmu Pendidikan : Jurnal Filsafat, Teori dan Praktik Kependidikan.

Universitas Negeri Malang.

---------, 2001,Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program

Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, Jakarta, Balai Pustaka

---------,2003, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal

2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Jakarta,

Depdiknas

---------,2006, Peraturan pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan, Jakarta, Depdiknas

--------, 2000, Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999, Jakarta, Balai Pustaka

Raharjo, Budi. (2003). Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Jakarta, Depdiknas.

Satori, Djama’an, dkk. 2001. Pedoman Implementasi Manajemen Berbasis

Sekolah, Bandung, Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat

Tilaar, A.R., 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta, Rineka Cipta.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Silakan kunjungi http://zamionline.com untuk pembuatan web yg lebih baik dari pada blog kayak gini...masak DRS kok pakai blog wekekekekeke

Salman Al Farisi mengatakan...

Buat Keona,
Menjadi hal yang wajar bagi seseorang bila mempunyai kekurangan dalam beberapa hal, bukankanh tidak ada manusia yang sempurna?
Mungkin saja dalam hal ini Bpk Hartono tidak mahir membuat blog, tapi dalam hal yang lain yang mungkin lebih bermanfaat, boleh jadi beliau lebih mahir dari Anda. Ingatlah, dipastikan Anda dulu pun merangkak sebelum berlari. Sekarang Anda mampu menjadi lebih baik tidak berarti Anda harus bersikap sombong, semestinya kelebihan ilmu yang Anda miliki diajarkan pada orang lain yang kurang pandai, bukan memperolok-olok mereka. Saya rasa, itu jauh lebih bermanfaat bagi Anda dan orang lain.